Thursday, June 02, 2011

Arti Menghargai Orang Lain

Seorang akademisi muda yang cerdas membuat aplikasi untuk posisi
manajerial disebuah perusahaan besar. Dia lulus pada interview tahap
pertama, dan tahap selanjutnya adalah interview dengan jajaran direksi.

Sang
direktur menemukan prestasi-prestasi cemerlang dalam CV anak muda
tersebut. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak muda
tersebut selalu mendapat peringkat pertama.

Melihat prestasi-prestasi tersebut, sang direktur pun bertanya: "Apakah Anda menerima beasiswa semasa sekolah dan kuliah?"

Anak muda itu menjawab : "Tidak pak....!"

Direktur bertanya lagi : "Apakah ayah Anda yang membayar biaya sekolah Anda?".

Anak muda itu menjawab : "Ayah saya telah meninggal dunia ketika
saya baru berumur satu tahun. Seluruh biaya sekolah saya dibayarkan
oleh Ibu saya.."

Lalu Direktur bertanya lagi : "Di mana ibumu bekerja?"

Dan anak muda itu menjawab : "Ibu saya bekerja sebagai seorang pencuci pakaian..."

Direktur
itu meminta anak muda tersebut untuk menunjukkan tangannya. Dan anak
muda itu memperlihatkan kedua tangannya yang sempurna dengan telapak
tangan yang sangat halus.

Melihat itu Direktur bertanya lagi : "Pernahkah Anda membantu ibu Anda mencuci pakaian sebelumnya?"

Anak
muda itu menjawab : "Tidak pernah pak. Ibu saya selalu menginginkan
saya belajar dan membaca banyak buku. Lagi pula, Ibu mencuci baju jauh
lebih cepat ketimbang saya".

Direktur tersebut kemudian berkata : "Saya punya satu permintaan.
Sekarang anda pulang dan ketika nanti anda sampai di rumah, cuci dan
bersihkan tangan ibumu, kemudian temui saya besok pagi".

Anak
muda tersebut merasa kesempatannya mendapat pekerjaan tersebut sangat
besar. Karena itu ketika dia sampai di rumah, dengan begitu gembira ia
meminta izin kepada ibunya agar ia boleh mencuci tangan beliau.

Ibunya merasa sedikit asing, aneh, juga bahagia dan
perasaan-perasaan lainnya bercampur jadi satu. Sang Ibu kemudian
memberikan kedua tangannya kepada sang anak. Lalu anak muda tersebut
membersihkan tangan Sang Ibu dengan perlahan.

Airmatanya mulai menetes saat itu. Ini pertama kalinya ia menyadari
bahwa tangan ibunya sudah penuh dengan kerutan, dan terdapat banyak
memar dan kapalan di sana sini . Beberapa

memar sepertinya terasa begitu sakit, sampai-sampai Sang Ibu menggigil ketika memar tersebut dibersihkan.

Ini pertama kalinya anak muda tersebut menyadari bahwa kedua tangan
yang sedang dibersihkan inilah yang digunakan Sang Ibu setiap hari
untuk mencuci pakaian banyak orang, sehingga Sang Ibu dapat membiayai
biaya sekolah anaknya.

Memar-memar dan kapalan yang ada di tangan Sang Ibu adalah harga
yang harus dibayar atas kelulusan anak tersebut, atas prestasinya yang
luar biasa, dan untuk masa depannya.

Setelah selesai mencuci
tangan Sang Ibu, anak muda tersebut diam-diam mencuci sisa baju yang
belum sempat dicuci oleh ibunya. Dan malam itu, anak dan ibu tersebut
berbincang sangat lama sekali.

Besok paginya, anak muda tersebut bergegas menemui sang direktur.

Direktur tersebut menangkap airmata di wajah anak muda tersebut.

Ia
pun kemudian bertanya : "Bisa Anda ceritakan apa yang telah Anda
lakukan kemarin dan apa pelajaran yang Anda dapat dari sana ?"

Anak muda tersebut menjawab : "Saya mencuci tangan Ibu saya, dan
kemudian saya menyelesaikan sisa cucian Ibu yang belum tercuci ".

"Tolong ceritakan perasaan Anda ketika itu" ujar Direktur lagi

Lalu anak muda itu menjawab : " Pertama, saya sekarang tahu apa
arti apresiasi. Tanpa ibu saya, tidak akan pernah ada seorang saya hari
ini.

Kedua, saya baru menyadari betapa sulit dan beratnya Ibu
menjalani pekerjaannya. Dan dengan bekerja membantu Ibu, ternyata
pekerjaan itu dapat meringankan beban Ibu.

Ketiga, saya datang hari ini untuk mengapresiasi betapa penting dan bernilainya hubungan keluarga".

Mendengar
itu lalu Direktur tersebut berkata : "Inilah yang saya cari dari
seorang calon manager. Saya ingin merekrut seseorang yang dapat
mengapresiasi dan menghargai bantuan orang lain, seseorang yang tahu
persis perjuangan orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dan seseorang
yang tidak akan menempatkan uang sebagai tujuan hidup satu-satunya.
Oleh karena itu mulai hari ini anda diterima bekerja disini...!".

Ratih Junisari Mangiwa

"Winning horse doesn't know why it runs the race. It runs because of beats & pain.
Life is a race, God is your rider. So if u are in a pain, then think,God want You to win"

(^&^)v  Save a tree. Don't print this e-mail unless it's really necessary 

Tuesday, April 19, 2011

Hal-hal kecil

Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin
berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong
istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dia
tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang
kuat dan bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku
bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika
aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku
seperti mulai menurun. Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi
kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami
bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat
bahagia, namun kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh
oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.

Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku. Hari itu hari yang cerah. Aku
berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi
hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan
untuknya. Lalu Jane berkata, "Kau adalah laki-laki yang pandai memikat
wanita." Kata-katanya tiba-tiba
mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku
berkata "Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak
wanita." Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku
telah mengkhianati istriku.

Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, "Kamu perlu memilih
beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan." Dia
terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya
melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin
jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan
sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun
aku mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah
seorang istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan
makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera
tersedia. Kemudian kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya
merupakan hiburan bagiku.

Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, "Kalau misalnya
kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?" Dia menatapku beberapa saat
tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang percaya bahwa
perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius tentang ini.
Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir
semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba
menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya.
Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut
kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka dimatanya.

Sekali lagi, Jane berkata padaku, "Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita
akan hidup bersama." Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu-ragu
lagi. Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan
malam. Aku menggemgam tangannya dan berkata, " Ada yang ingin aku
bicarakan."Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat
perasaan luka dari matanya. Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku.
Tapi aku harus tetap
mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai
pembicaraan dengan tenang.

Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah
bertanya dengan lembut, "Kenapa?" Aku menghindari pertanyaannya. Hal
ini membuatnya marah. Dia melempar sumpit dan berteriak padaku, "Kamu
bukan seorang pria!" Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis.
Aku tahu, dia ingin mencari
tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit
memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane.
Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya! Dengan perasaan
bersalah, aku membuat perjanjian perceraian yang menyatakan bahwa
istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami dan 30% aset perusahaanku.

Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah
menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang
asing bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan
tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku
katakan karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis
dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku,
tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang
telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang
menjadi tampak tegas dan jelas.

Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis
sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan
tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane. Ketika aku
terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak
mempedulikannya dan langsung kembali tidur. Paginya, dia menyerahkan
syarat perceraiannya: Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya
menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia meminta
dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin.
Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan
itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.

Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu lagi, dia
memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya
ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami. Dia memintanya selama 1
bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu
depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku menerima permintaannya yang
aneh karena hanya ingin membuat hari-hari terakhir kebersamaan kami
lebih mudah diterima olehnya. Aku memberi tahu Jane tentang syarat
perceraian dari istriku. Dia tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu
berlebihan. "Trik apapun yang dia gunakan, dia harus tetap menghadapi
perceraian!", kata Jane, dengan nada menghina.

Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak
keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku
menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami
tepuk tangan di belakang kami. Katanya, "Papa menggendong mama!" Kata-
katanya membuat ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke
pintu depan, aku berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku.
Dia menutup mata dan berbisik padaku, "Jangan bilang anak kita mengenai
perceraian ini." Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di
depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri
naik mobil ke kantor.

Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar di
dadaku. Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah
lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia
sudah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih.
Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang
telah aku lakukan padanya.

Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan
seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan
10 tahun kehidupannya padaku. Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa
kedekatan kami semakin bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane.
Seiring berjalannya waktu semakin mudah menggendongnya. Mungkin
karena aku rajin berolahraga membuatku semakin kuat.

Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia
mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia
menghela nafas, "Pakaianku semua jadi besar." Tiba-tiba aku tersadar
bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa
menggendongnya dengan mudah. Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam
rasa sakit dan kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku
menyentuh kepalanya.

Anak kami datang saat itu dan berkata, "Pa, sudah waktunya menggendong
mama keluar." Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar
telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku
untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku karena
takut aku akan berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku
menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan.
Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan
erat, seperti ketika hari pernikahan kami. Tapi berat badannya yang
ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya,
sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah.
Aku menggendongnya dengan erat dan berkata, "Aku tidak memperhatikan
kalau selama ini kita kurang kedekatan."

Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya.
Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas,
Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, "Maaf, Jane, aku tidak mau
perceraian." Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. "Kamu
demam?", tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Maaf,
Jane, aku bilang, aku tidak akan bercerai." Kehidupan pernikahanku
selama ini membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak menilai
segala detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai.
Sekarang aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari
pernikahan kami, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan
kami.

Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian
membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.
Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket
bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis
di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu setiap
pagi sampai maut memisahkan kita.

Sore itu, aku sampai rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di
wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku
terbaring di tempat tidur - meninggal. Istriku telah melawan kanker
selama berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak
memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dan dia ingin
menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami
jadi bercerai. -- Setidaknya, di mata anak kami --- aku adalah suami
yang penyayang.

Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting dalam
suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank.
Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak bisa memberikan kebahagian
itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi pasanganmu,
dan lakukan hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan
itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia.


Ratih Junisari Mangiwa

"Winning horse doesn't know why it runs the race. It runs because of beats & pain.
Life is a race, God is your rider. So if u are in a pain, then think,God want You to win"

(^&^)v  Save a tree. Don't print this e-mail unless it's really necessary