Thursday, November 13, 2008
SEBUAH RENUNGAN UNTUK PARA JOMBLO
Seperti anak-anak muda seumurannya, Sarai pun memiliki kerinduan untuk
mendapatkan pacar. Sambil melirik-lirik teman sekampusnya, tak lupa Sarai
selalu berdoa "Tuhan, berikan aku seorang pacar yang takut akan Engkau,
penuh pengertian, lembut hati, bijaksana dan setia. Terserah siapa yang
Engkau pilihkan, aku akan menerimanya sebagai pemberianMu"
Ketika Sarai merayakan Natal di kampungnya, Sarai kembali bertemu dengan
Gita sahabatnya sewaktu kecil dulu. Sarai sebenarnya tahu bahwa sejak kelas
5 SD Gita naksir dirinya. Saat mereka duduk di bangku SMP, Gita selalu
mencari-cari alasan supaya bisa mondar-mandir lewat di depan rumah Sarai.
Sarai pun sengaja keluar masuk rumah supaya bisa bertemu Gita. Rupanya
mereka terlibat cinta monyet. Saat mereka duduk di bangku SMA, mereka tetap
menyimpan rasa cinta di dalam hati masing-masing. Sarai tidak pernah berani
menatap mata Gita, karena malu kalau terbaca seberapa besar cintanya kepada
Gita. Gita pun demikian. Walaupun hati mereka dekat dan saling menyayangi,
tetapi mereka tidak pernah berani menyatakan kata cinta. Gita, sebagai
anak kampung dari strata sosial di jauh bawah keluarga Sarai, tentu saja
tidak
memiliki keberanian untuk menyatakan cinta kepada Sarai. Jadilah hati
mereka saling berpacaran, tanpa kata, tanpa sentuhan, tanpa pelukan dan
juga tanpa kencan.
Saat mereka bertemu lagi dalam acara Natal itu, Gita memberanikan diri
menyatakan cintanya kepada Sarai. Walaupun sebenarnya Sarai masih menyimpan
cintanya untuk Gita, tetapi gengsinya terlalu tinggi untuk menerima cinta
Gita. Sarai yang berasal dari keluarga terpandang, tidak berani mengambil
resiko untuk menjadi kekasih Gita, kaum jelata dari kelas "sudra". Sarai
juga kuatir Gita yang hanya berpendidikan diploma, tidak akan bisa
menyesuaikan diri dengan teman-teman kuliah Sarai di kampus yang cukup
bergengsi itu. Saat itu Sarai pun berdoa "Tuhan, sebenarnya saya mencintai
Gita, tapi saya malu karena status sosial Gita. Berikan saya pacar yang
sebaik Gita, tetapi tidak culun, udik dan berpendidikan minimal S-1!"
Ketika Sarai aktif dalam pelayanan gereja, ia berteman akrab dengan Ito,
seorang mahasiswa Theologia, teman sekampusnya. Persahabatan itu
mendatangkan suka cita di antara mereka berdua dan bagi teman-teman di
sekitarnya. Kematangan Ito dan kesediaannya mendengar keluh kesah Sarai,
membuat ia layak menjadi kakak sekaligus penolong bagi Sarai. Saat Ito
hendak mengubah kedekatan itu menjadi hubungan percintaan, Sarai menolak,
karena menurutnya Ito bukanlah tipe laki-laki yang didambakannya. Walaupun
sejujurnya Ito memenuhi kriteria laki-laki yang sering disebut dalam
doa-doanya, namun mata Sarai lebih menguasai hatinya. "Tuhan, berikanlah
sahabatku Ito seorang pacar, tetapi jangan saya. Saya tahu dia baik dan
penyayang, tapi dia tidak rapi, tidak tampan dan mulutnya terlalu lebar.
Tolong berikan saya pacar, tapi jangan yang sejelek Ito"
Walaupun Ito dan Sarai masih bersahabat, tetapi mereka tak seakrab yang
dulu. Ito yang telah memasuki smester-smester akhir harus mempersiapkan
diri untuk praktek penggembalaan di luar kota. Sarai pun makin sibuk dengan
kegiatan kampusnya. Mereka semakin jauh, jauh, dan lama kelamaan nama Ito
terhapus dari kehidupan Sarai.
Suatu ketika Sarai ditunjuk mewakili kampusnya untuk mengikuti seminar
antar kampus di tingkat regional untuk beberapa hari. Saat bertemu dengan
Arjuna, mahasiswa tertampan dari kampus lain, Sarai langsung berdoa dalam
hati "Tuhan, sungguh indah ciptaanMu! Engkau yang Maha Murah, berikanlah
Arjuna menjadi pacarku". Si tampan Arjuna yang berpenampilan clam dan cool
itu membuat Sarai semakin penasaran. Walaupun Sarai berpura-pura cuek, tapi
hatinya terus menerus berdoa, memaksa Tuhan untuk menggerakkan hati Arjuna
supaya mau menghampirinya.
Entah karena doa-doa yang setengah memaksa Tuhan atau karena sikap Sarai
yang jinak-jinak merpati, tahu-tahu Arjuna aktif melakukan PDKT. Usaha
Arjuna terus dilanjutkan walaupun mereka telah kembali ke kota
masing-masing. Singkat cerita mereka berpacaran jarak jauh dan hanya
seminggu sekali mereka bertemu. Walaupun Arjuna mengakui secara jujur bahwa
ia berasal dari keluarga miskin, Sarai nggak mau tahu. Rupanya Sarai sudah
terjerat cinta sejak pandangan pertama! Sebulan dua bulan hubungan mereka
lancar. Namun begitu masuk bulan keenam komunikasi mereka agak tersendat.
Arjuna yang dulu rajin mengunjungi kost Sarai setiap akhir pekan, tiba-tiba
minta dimengerti karena tidak bisa berkunjung terlalu sering. Untuk
membuktikan bahwa Arjuna tidak pindah ke lain hati, ia pun mempersilakan
Sarai untuk datang sewaktu-waktu ke pondokannya.
Saat Sarai ingin membuktikan kebenaran kata-kata Arjuna, ia pun berkunjung
ke tempat kost Arjuna. Sarai hampir pinsan ketika melihat kenyataan bahwa
Arjuna tak semiskin yang ia bayangkan. Dari mulut Arjuna, Sarai sudah bisa
membayangkan bahwa Arjuna memang bukan anak dari keluarga berada. Namun
keadaan yang didapati Sarai benar-benar membuatnya shock. Ternyata Arjuna
hanya menempati kamar ukuran 2X3 meter yang berdinding bambu dan berlantai
tanah. Sarai pun mundur teratur sambil berdoa "Tuhan, bukan yang ini yang
saya minta! Saya ingin pacar yang setampan dan sebaik Arjuna tetapi jangan
yang terlalu miskin. Bolehlah Engkau kasih saya pacar yang sederhana,
tetapi jangan yang sekere ini"
Lama sekali Sarai tidak menemukan kekasih hati. Ia pun masih terus berdoa
supaya Tuhan memberikan teman laki-laki yang sesuai dengan kriterianya.
Namun ketika bertemu dengan Suromenggolo, laki-laki tampan, gagah dan
berpenampilan sempurna itu, Sarai menjadi lupa dengan doa-doanya. Ia merasa
yakin suatu saat laki-laki itun akan menjadi miliknya.
Suromenggolo yang duduk sebagai ketua panitia kegiatan cinta alam, mulai
melirik-lirik Sarai yang terlibat sebagai peserta. Setiap ada kesempatan,
Sarai pun mencuri-curi pandang supaya bisa menikmati ketampanan
Suromenggolo. Suromenggolo yang berwajah oval dan dihiasi kumis tipis dan
sepasang mata bersinar di bawah alis yang indah, benar-benar membuat
tercengang setiap perempuan yang melihatnya. Kulitnya yang hitam manis,
sangat serasi dengan senyumnya yang manis dan menggetarkan hati setiap
perempuan .
Ketika Sarai mengalami kesulitan untuk mendirikan tendanya, Suromenggolo
menghampiri nya dengan senyum yang sungguh menawan. Sapaan nan lembut dan
santun Suromenggolo membuat Sarai bagaikan Dewi di kayangan. Dengan sopan
Suromenggolo menyodorkan tangan untuk berkenalan, membuat Sarai yakin bahwa
laki-laki tampan di hadapannya berasal dari keluarga yang beradab. Beberapa
hari berpetualang di alam bersama, membuat Sarai dan Suromenggolo semakin
akrab. Setiap Sarai mengalami kesulitan, Suromenggolo datang membantu tanpa
diminta. Setiap menjelang magrib, saat Sarai dan teman-teman perempuannya
pergi untuk mandi di kali, tanpa diminta Suromenggolo pun bersedia mengawal
bak pahlawan yang selalu siap menjaga kehormatan teman-teman perempuannya.
Sikap Suromenggolo yang "care" dan penuh perhatian, membuat Sarai yakin
bahwa Suromenggolo adalah laki-laki ideal yang diinginkannya.
Ketika petualangan di alam bebas itu diakhiri dengan mendaki gunung,
Suromenggolo menggunakan kesempatan untuk merebut simpati Sarai. Selama
perjalanan, Suromenggolo menunjukkan perhatian yang sangat besar dan
kesediaan menolong setiap anak buahnya. Sikap Suromenggolo yang melindungi,
benar-benar membuat setiap orang yang berada di dekatnya merasa aman.
Kata-kata Suromenggolo yang lembut, santun dan bijaksana sungguh
menyejukkan
hati Sarai. Terlebih dengan sikap dan perhatian khusus yang penuh cinta,
yang selalu diarahkan Suromenggolo kepada Sarai.
Sarai benar-benar tersanjung melihat Suromenggolo yang begitu memperhatikan
dan mengkuatirkannya. Melalui tatapan mata dan bahasa tubuhnya,
Suromenggolo mengisyaratkan bahwa ia tak ingin Sarai merasakan kesusahan.
Suromenggolo seolah tahu kapan keringat Sarai hendak menetes dan kapan ia
harus mengeluarkan sapu tanganya untuk membersihkan kening Sarai. Ketika
Sarai tergelincir, tangan Suromenggolo meraihnya dengan cepat, sehingga
Saraipun aman bersamanya. Suromenggolo rela menggendong dua ransel, supaya
pundak Sarai tidak terkelupas oleh beratnya beban. Begitu cuaca mulai
berkabut, Suromenggolo melepas jaketnya untuk dipakaikan ke tubuh Sarai.
Ketika kaki Sarai terkelupas oleh jauhnya perjalanan, Suromenggolo tidak
mempercayakan perawatan luka di kaki Sarai kepada petugas P3K. Dengan
tangannya sendiri, Suromenggolo mencuci dan mengobati kaki Sarai.
Selama perjalanan pulang ke kampus, Suromenggolo selalu menjagai Sarai.
Walaupun Sarai masih bisa berjalan dengan baik, tetapi Suromenggolo selalu
berusaha menjaganya. Tanpa diminta, Suromenggolo selalu menuntun Sarai
ketika naik dan turun dari bis. Di dalam bis pun Suromenggolo selalu
berusaha mencarikan minum dan makanan untuk Sarai. Setibanya di kampus,
sebenarnya Sarai bisa pulang sendiri ke kostnya. Tetapi Suromenggolo merasa
bertanggung jawab untuk mengantar Sarai hingga di depan pintu kostnya.
Tidak berhenti di situ saja! Malam harinya Suromenggolo datang lagi ke
tempat kost Sarai dengan membawa dua rantang makan malam dan obat kompres
untuk kaki Sarai. Semula Sarai menolak pemberian itu, karena ia menyangka
bahwa Suromenggolo adalah sesama anak kost yang uangnya mepet. Tetapi
Suromenggolo berusaha meyakinkan bahwa makanan yang dibawanya adalah
masakan ibunya yang memang disiapkan untuk Sarai.
Malam-malam berikutnya Suromenggolo selalu datang dengan setangkai bunga
yang terselip di rantang catering ibunya. Teman-teman kost Sarai pun memuji
perhatian dan kasih sayang Suromenggolo yang seakan tak pernah ada
habisnya.
Tidak berlebihan jika Sarai GR (gede rasa). Ia pun langsung berdoa "Tuhan,
inilah orang yang kupilih. Berkatilah supaya dia menjadi kekasihku
selamanya". Saat itu bagi Sarai, berdoa adalah nomor kesekian. Tuhan
bukanlah tempat Sarai berkonsultasi karena Sarai bisa memilih sendiri
laki-laki yang diinginkannya. Setiap berdoa, Sarai hanya cukup melapor dan
meminta dukungan Tuhan atas apa yang diinginkannya. Ketampanan, cinta dan
romantisme Suromenggolo telah membuat Sarai menempatkan Tuhan hanya sebagai
asisten yang selalu diminta membantu Sarai mencapai keinginannya. Mungkin
inilah yang dinamakan cinta buta. Api asrama yang berkobar di antara
mereka, telah membuat Sarai tidak mampu melihat sisi lain kehidupan
Suromenggolo.
Walaupun Sarai tahu bahwa Suromenggolo bukan anak Tuhan yang sepadan
dengannya, namun Sarai ngotot dan merasa mampu memperkenalkan Juru Selamat
kepada Suromenggolo. Terlebih lagi Suromenggolo sendiri sudah bersedia
untuk beribadah di gereja Sarai. Inilah yang selalu dijadikan senjata
pembela diri, ketika orang tua dan kakak Sarai tidak menyukai hubungan
mereka.
Walaupun kakak Sarai sudah memberitahukan berkali-kali tentang masa lalu
Suromenggolo yang suka berkelahi dan mabuk-mabukan, tetapi perhatian dan
kelembutan Suromenggolo telah memabukkan Sarai. Sarai merasa saat itu dia
lah yang paling tahu siapa Suromenggolo yang sesungguhnya.
Walaupun induk semang Sarai berkali-kali memberitahu bahwa Suromenggolo
adalah anak kolong yang keluargnya amburadul, Sarai tetap dengan
keyakinannya bahwa laki-laki yang dikenalnya adalah sosok yang penuh cinta
dan kasih sayang. Ketampanan, romantisme dan sikap santun Suromenggolo sama
sekali bertolak belakang dengan pernyataan induk semang Sarai.
Ketika berkenalan lebih dekat dengan keluarga Suromenggolo, Sarai
dihadapkan kenyataan bahwa Suromenggolo memang bukan berasal dari keluarga
yang harmonis. Kenyataan bahwa ayah Suromenggolo sering melakukan kekerasan
terhadap istri dan anak-anaknya, justru didengar Sarai dari mulut ibu
Suromenggolo. Dengan berlinang air mata ibu Suromenggolo menceritakan
penderitaan dirinya yang sering diperlakukan kasar dan ditinggal kabur
ayahnya. Penderitaan ibu Suromenggolo semakin lengkap ketika ia tidak
memiliki daya untuk melindungi anak-anaknya dari siksaan suaminya. Kisah
mengharukan itu semakin diperkuat dengan cerita Suromenggolo yang mengaku
bahwa siksaan dari ayahnya merupakan makanan sehari-hari untuknya.
Pengenalan Sarai terhadap keluarga Suromenggolo tidak menyurutkan cintanya.
Sebaliknya, Sarai semakin mengagumi Suromenggolo. Di mata Sarai,
Suromenggolo adalah pribadi yang tegar. Walaupun tidak pernah menerima
kasih sayang dari ayahnya, namun ia memiliki cinta dan kasih sayang yang
begitu besar untuk orang lain, terutama untuk Sarai. Sarai semakin kagum
karena Suromenggolo yang sedari kecilnya terbiasa menerima siksaan, tetapi
setelah dewasa bisa tampil sebagai sosok pelindung yang penuh kasih.
Bukan hanya Sarai yang membutuhkan Suromenggolo. Kehadiran Sarai pun
semakin
mengobarkan semangat hidup Suromenggolo. Sarai adalah satu-satunya orang
yang mengerti penderitaan Suromenggolo. Ibu Suromenggolo yang harus
berjuang keras menghidupi anak-anaknya, telah membuat Suromenggolo tidak
mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Menurut Suromenggolo,
setelah masa remajanya terbuang sia-sia dalam kehidupan yang penuh nikotin,
alkohol dan perkelahian, ibunya baru datang menghampirinya. Saat
Suromenggolo menjelang dewasa, ibunya berusaha menebus kesalahannya dengan
memberikan kasih sayang yang berlebih.
Walaupun ibunya telah memberikan kemanjaan yang berlebih, Suromenggolo
tetap
membutuhkan kasih lembut Sarai. Walaupun kecantikan Sarai tak sebanding
dengan ketampanannya, Suromenggolo tetap membutuhkan Sarai sebagai calon
pendamping, sekaligus sebagai "ibu". Tanpa pikir panjang lagi, setelah 2
tahun berpacaran mereka memutuskan untuk menikah, setelah Suromenggolo
bersedia dibaptis di gereja Sarai. Ketika itu Sarai menodong Tuhan untuk
mencari pembenaran atas keputusannya "Tuhan, inilah orang yang Kaupilih
untuk mendampingiku. Walaupun banyak muridMu tidak sepenuhnya mendukung
hubungan kami, namun untuk kali ini, biarlah aku mewujudkan keinginanku.
Untuk lain kali, bolehlah kehendakMu yang jadi. Namun untuk kali ini saja,
biarlah kehendakku yang jadi"
Walaupun secara materi mereka berdua tidak memiliki kesiapan sama sekali,
mereka nekad membina rumah tangga hanya dengan bermodal cinta. Layaknya
syair yang dilantunkan oleh pedangdut, mereka rela hidup menderita, tidur
hanya beralas koran dan makan sepiring berdua. Sarai yang sudah bekerja
harus menopang bahtera yang dikemudikan oleh Suromenggolo. Sarai yang
bekerja di dua tempat hingga larut malam, tidak membuat Suromenggolo lelah
menunggunya di rumah. Suromenggolo justru senang kalau ia bisa memasak
makan malam untuk mereka berdua. Tahun pertama perkawinan mereka
benar-benar penuh dengan kemesraan. Mereka tidak peduli apa kata orang.
Mereka juga tak peduli kalaupun dunia ini akan runtuh, asalkan mereka
selalu berdua. Kebahagian mereka semakin bertambah saat Suromenggolo
mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus dengan gaji yang lumayan.
Memasuki tahun kedua, Sarai dan Suromenggolo sepakat untuk melewatkan libur
Natal di rumah keluarga Suromenggolo. Saat malam Natal tiba, Sarai mulai
kecewa karena Suromenggolo dan ibunya menghalanginya untuk pergi ke gereja.
Suromenggolo menenangkan Sarai dengan menjanjikan untuk mengantarnya ke
gereja esok paginya. Mereka berdua sepakat untuk pergi ke gereja pada jam
05.00.
Di pagi yang buta Sarai menggandeng tangan Suromenggolo untuk pergi ke
gereja. Belum sempat pasangan muda itu melangkah keluar pintu, ibu
Suromenggolo menggagalkan rencana mereka. Suromenggolo meminta pengertian
Sarai untuk menggeser rencana mereka sampai jam 07.00. Sarai pun setuju.
Namun begitu waktu ibadah yang kedua sudah hampir tiba, Suromenggolo masih
sibuk menemani ibunya. Sarai kembali bersabar, menunggu Suromenggolo
menyediakan waktu untuk istri dan Tuhannya pada jam 09.00.
Lagi-lagi gagal! Suromenggolo mencoba menggeser rencana mereka sampai jam
11.00. Namun, gagal lagi gagal lagi! Hari itu tampaknya Suromenggolo
benar-benaar milik ibunya. Kesabaran Sarai sudah sirna. Ketika hari telah
bergeser hingga jam 17.00, dan ibu Suromenggolo belum ingin melepaskan
anaknya menikmati kebersamaan dengan istrinya, Saraipun mengambil sikap.
Tanpa ijin suami dan mertuanya, Sarai nekad pergi ke gereja sendiri.
Walaupun berbakti dan memuji Tuhan adalah hak Sarai yang paling azazi,
namun
Suromenggolo dan ibunya menganggap hal tersebut merupakan pelecehan
terhadap
kekuasaan sang suami. Hari itu Sarai divonis bersalah karena berani
meninggalkan rumah tanpa restu suaminya. Sarai yang berasal dari keluarga
yang taat beribadah, tentu saja sangat kecewa melihat suaminya menerima
Kristus hanya di bibirnya saja. nilah sumber konflik yang pertama.
Mulai saat itu, Suromenggolo semakin mengatur dan menuntut sarai untuk
berperan sebagai mana ibunya. Sarai yang bekerja di kantor tentunya tidak
sanggup menerima beban ganda yang ditimpakan oleh suaminya. Masakan Sarai
yang tidak lezat dan dandanan yang tak seluwes ibu mertuanya, seringkali
dipakai Suromenggolo untuk melecehkan Sarai. Sarai baru menyadari bahwa ia
sedang hidup bersama dengan penderita oidepus complex. Sarai tidak
menyerah.
Ia justru ingin belajar dari ibu mertuanya yang merupakan figur ibu rumah
tangga yang nrimo, mengabdi dan menerima apa saja perlakukan suaminya.
Namun sayang, belum selesai berguru kepada mertuanya, Sarai hamil. Sejak
saat itu Sarai lebih berkonsentrasi pada buah hati yang ada di dalam
perutnya.
Perhatian sarai yang terbagi untuk memikirkan kesehatan diri dan janinnya,
membuat Suromenggolo merasa perhatian dan kasih sayang Sarai tak cukup lagi
buatnya.
Suromenggolo mulai mencari perhatian dari teman-teman sekantornya. Ia rela
melakukan apa saja supaya bisa diterima dan dikagumi teman-temannya.
Seringkali Suromenggolo tidak membawa pulang uang gajinya demi menyenangkan
teman-temannya. Panggilan "Bos" dari rekan-rekannya membuat Suromenggolo
merasa tidak cukup hanya dengan bermodalkan uang gajinya. Tak jarang ia
menggunakan uang istrinya hanya untuk berfoya-foya dengan teman-temanya.
Merasa uangnya kurang, Suromenggolo mulai berkhayal menjadi orang kaya
melalui perjudian. Saat Suromenggolo kalah berjudi, ia meyakinkan Sarai
bahwa lain kali ia akan meraup keuntungan dari permainan judinya. Ketika
Suromenggolo mendapatkan kemenangan yang kecil, ia semakin bersemangat
untuk meyakinkan Sarai bahwa di waktu-waktu mendatang ia akan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Keuangan mereka semakin
kacau. Baik kekalahan maupun kemenangan, bagi Suromenggolo harus dirayakan
dengan alkohol.
Bau alkohol dari mulut Suromenggolo membuat Sarai tidak bisa melayaninya di
tempat tidur. Namun penolakan Sarai tidak membuat Suromenggolo mundur.
Sebaliknya, Suromenggolo menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Semakin dilecehkan dan diperlakukan secara tidak bermartabat, Sarai semakin
frigit. Inilah neraka bagi Sarai. Semakin ia frigit, Suromenggolo semakin
bersemangat untuk "memperkosanya".
Walaupun anak mereka telah lahir, Suromenggolo tidak berubah. Mau tidak
mau, Sarai bersikap lebih tegas lagi. Ia berusaha mengendalikan uang
gajinya sendiri supaya bahtera keluarganya tidak tenggelam. Paling tidak
Sarai merasa bertanggung jawab untuk menghidupi anaknya. Kesenangan
Suromenggolo bersama teman-temannya, membuat Sarai seolah janda beranak
satu, yang harus berjuang sendiri menghidupi anaknya. Buah hati mereka yang
sakit-sakitan seolah bukan masalah Suromenggolo. Semua ditimpakan kepada
Sarai.
Kesulitan hidup yang dihadapi Sarai membuat ia seolah mati rasa.
Ketidakhadiran Suromenggolo di saat anaknya perlu dilarikan ke rumah sakit
karena demam tinggi, sudah dianggap hal yang biasa. Sarai tidak punya waktu
lagi untuk mengemis cinta dan belas kasihan dari suaminya. Ia merasa harus
bisa hidup dan membagi cinta bersama anaknya. Merasa kehadirannya tak
berpengaruh dalam kehidupan istri dan anaknya, Suromenggolo mulai mencari
pengakuan, baik di dalam maupun di luar rumah. Sejak saat itu, Suromenggolo
bukan saja menuntut Sarai menjadi sama dengan ibunya, tetapi ia sendiri
menghadirkan potret ayahnya. Kesalahan-kesahalan kecil yang dilakukan Sarai
bisa membuat ia murka. Cerita tokoh Suromenggolo yang penuh cinta, kasih
sayang dan romantisme sudah berakhir. Ia hadir layaknya "warok
suromenggolo" yang menakutkan. Ia telah berubah wujud menjadi monster yang
tertawa puas ketika melihat Sarai dengan kening terluka, bibir dan hidung
yang berlumuran darah, mata yang membengkak atau yang merangkak kesakitan
sambil berlutut atau mencium telapak kaki sambil memohon belas kasihan
dari Suromenggolo
Suromenggolo menerima Tuhan Yesus hanya karena cintanya kepada Sarai, bukan
karena ia mencintai Juru Selamat. Suromenggolo menjadikan Kristen hanya
sebagai identitas, dan bukan karena ia ingin hidup meneladani Kristus. Ia
menjadi Kristen, bukan karena dia "ngefans" dengan pribadi Kristus, tetapi
karena ia "ngebet" untuk mendapatkan cinta Sarai. Ketika cinta itu redup,
Suromenggolo pun rela meninggalkan Kristus. Ia rela menukar Janji
Keselamatan dengan perempuan lain yang lebih cantik, sexy, menggairahkan
dan bersedia diperlakukan sebagai "ibunya".
******
Kisah nyata di atas terjadi karena Sarai tidak mengandalkan Yesus. Ketika
ia kepincut dengan ketampanan dan terbius oleh cinta seorang laki-laki, ia
menomor duakan Tuhan Yesus. Karena merasa yakin bahwa pilihannya bisa
memuaskan matanya, ia pun berdoa "Biarlah kehendakku saja yang terjadi,
bukan kehendakMu". Kesalahan yang terbesar dalam hidup Sarai adalah tidak
mengandalkan campur tangan Tuhan ketika mengambil keputusan. Bahkan
orang-orang di sekitar Sarai yang dipakai oleh Tuhan untuk mengingatkannya,
dianggap angin lalu saja. Walaupun banyak orang bilang bahwa Tuhan akan
menyediakan "Abraham" yang lebih baik bagi Sarai, tetapi ia telah dibutakan
oleh ketampanan dan romantisme dari laki-laki yang tak sepadan di hadapan
Allah.
Oleh : Lesminingtyas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment